Pages

Selasa, 01 April 2014

Laporan Pangan dan Gizi


A.    TUJUAN PRAKTIKUM
Adapun tujuan praktikum kali ini adalah agar mahasisiwa dapat mengetahui keanekaragaman pangan yang ada di Indonesia khususnya pada daerah masing – masing di setiap kabupaten yang ada.
B.     DASAR TEORI
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 memberikan definisi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sementara USAID (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai satu kondisi dimana masyarakat pada satu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dietary dalam rangka untuk peningkatan kesehatan dan hidup yang lebih produktif. Perbedaan mendasar dari dua definisi ketahanan pangan tersebut yaitu pada UU No 7/1996 menekankan pada ketersediaan, rumah tangga dan kualitas (mutu) pangan.
Pemerintah kabupaten Lamandau dalam menyikapi ketahanan pangan mengatakan bahwa usaha penganeragaman pangan sangat penting artinya untuk mengatasi masalah  ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja.
Misalnya dengan mengubah jagung menjadi berbagai bentuk pangan olahan pangan  yang mempunyai rasa khas dan tahan lama disimpan, baik sebagai makanan pokok maupun makanan ringan. Usaha ini di maksudkan  dalam rangka mengurangi ketergantungan komsumsi pada beras. Hal ini sejalan dengan program yang menjadi program utama pembangun pertanian.
C.    WAKTU DAN TEMPAT
Adapun praktikum pangan dan gizi  dengan materi “ Ketahanan Pangan”. Dilaksanakan pada hari Sabtu, 20 Oktober 2012. Yang bertempat di Palangka Raya, jalan tilung XIII.




D.    PROSEDUR KERJA
Jagung merupakan makanan pengganti nasi, berikut merupakan contoh pembuatan produk olahan nasi jagung yang ada di kabupaten lamandau.
a.      Nasi dari beras jagung
Bahan :
·         Beras Jagung 2 gelas ( 1 bagian )
·         Air 4 gelas ( 2 bagian)
Cara memasak nasi jagung :
·         Beras jagung ditampi terlebih dahulu, kemudian dicuci sampai bersih, bagian – bagian yang terapung dipisahkan.
·         Direndam lebih kurang dari 1 jam, kalu ada waktu perendaman dilakukan lebih lama misalnya 1 malam. Jika merendamnya laebih dari 12 jam maka air rendaman harus diganti untuk mencegah beras jagungnya menjadi bau. Setelah direndam beras jagung dicuci lagi, kemudian ditiriskan.
·         Masak air dahulu hingga mendidih, setelah itu beras jagung dimasukkan hingga airnya habis kemudian angkat (aronan).
·         Kemudian siapkan pengukus/ dandang yang telah diisi air secukupnya dan setelah mendidih, masukan aronan ke dalam kukusan dan kukus sampai masak.
·         Setelah beras jagung masak, kemudian diangkat dari dandang dan didinginkan dengan maksud agar nasi menjadi pulen, setelah itu nasi jagung siap untuk di hidangkan.
Jagung selain di buat menjadi nasi dapat di olah menjadi makanan seperti lontong jagung, lontong tepung jagung. Selain itu jagung  juga bisa diolah menjadi makanan selingan dari tepung jagung. Berikut ini hasil olahan makanan dari tepung jagung yang ada di kabupaten lamandau misalnya, bubur jagung instan, pudding tepung jagung, kue semprit tepung jagung, roti tepung jagung, kue lapis jagung, cake jagung, dumplo jagung, jagung goring, keripik jagung.

Karna singkong merupakan tanaman yang banyak manfaatnya dan pangan berbasis sumberdaya lokal, maka di kabupaten lamandau tanaman ini di manfaatkan untuk menjadi aneka produk olahan dari bahan ubi kayu atau singkong, di antaranya krupuk Singkong atau Opak, Combro dan Misro serta Krupuk  Kulit Singkong.
Berikut contoh cara membuat Opak/ Krupuk Singkong
Bahan:
·                     Singkong
·                     Gula Merah
·                     Minyak Goreng
Cara pembuatan :
·                     Singkong dikupas dicuci bersih lalu diparut, baru dicetak dibelakang piring dengan cara menempelkan hasil parutan singkong hingga rata dan tidak terlalu tebal.
·                     Siapkan air dipanci lalu direbus sampai mendidih, lalu piring yang sudah di tempel dengan parutan singkong tadi untuk menutup panci dengan posisi hasil tempelan puritan singkong menghadap ke ruang panci, kurang lebih satu menit piring di angkat tunggu sampai dingin.
·                     Tempelan parutan singkong tadi di lepas perlahan- lahan langsung dijemur sampai betul – betul kering.
·                     Digoreng sampai warna agak kekuning – kuningan, tiriskan tunggu sampai dingin.
·                     Siapakan  gula merah dan air lalu dimasak sampai mengental baru diangkat, tunggu sampai dingin.
Hasil gula merah tadi diteteskan diatas opak yang sudah digoreng kemudian siap untuk dinikmati.





E.     PEMBAHASAN
Pemerintah kabupaten lamandau sedang menggalakan program penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal, seperti singkong  dan jagung. Tanaman singkong merupakan tanaman yang banyak manfaatnya. Hampir dari semua bagian dari tanaman ini dapat di manfaatkan. Mulai dari daun terutama yang muda dapat dimanfaatkan sebagai sayuran, batang digunakan untuk bahan tanaman atau bibit, dan umbi atau singkong dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, bahkan kulit singkong yang tebal dapat  di olah menjadi makanan.
Program ini bertujuan untuk mengangkat sumber pangan  dari lokal dan pada saatnya nanti  dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras dan gandum. Ubi kayu atau singkong  merupakan sumber alternative non beras.
F.     KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat di ambil praktikum kali ini adalah kita bahwa kita tidak harus bergantung dengan beras saja, karena seperti di kabubapenten lamandau ternyata selain beras ada bahan lain yang dapat kita jadikan bahan pangan seperti jagung, dan ketela. Karena jagung di kabupaten lamandau ini dapat di buat menjadi bahan pangan seperti nasi jagung dan di buat produk olahan lain seperti lontong jagung, lontong tepung jagung, bubur jagung instan, puding tepung jagung, cake jagung dan masih banyak yang lain. Selain itu Singkong juga dapat di olah menjadi bahan pangan seperti Combro dan Misro, Opak/ Kerupuk singkong, Krupuk kulit singkong, dan kue bengawan solo.
Kegiatan ini sangat membantu dalam mengatasi masalah ketahan pangan karna mengingat keaneragaman bahan pang yang ada di daerah kita khususnya di kabupaten lamandau.

Minggu, 30 Maret 2014

Ruang Lingkup Manajemen Produksi Agribisnis



1.      Pengertian Manajemen Produksi Agribisnis
Para ahli manajemen, mempunyai banyak definisi tentang manajemen. Yang pasti manajemen adalah tindakan atau kegiatan merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, mengkoordinasikan dan mengontrol untuk mencapai tujuan organisasi. Produksi adalah kegiatan untuk mengubah input menjadi output sehingga lebih berdaya guna dari pada bentuk aslinya. Produksi merupakan salah satu dari fungsi-fungsi yang ada dalam suatu lembaga. Fungsi lain selain operasi adalah keuangan, personalia, pemasaran, dan lain-lain. Produksi inilah yang menentukan kemampuan suatu lembaga melayani pihak luar. Jadi manajemen produksi merupakan penerapan ilmu manajemen untuk mengatur kegiatan produksi atau operasi agar dapat dilakukan secara efisien. Mekasisme atau system manajemen produksi masing-masing perusahaan berbeda, namun yang pasti ada proses mengubah bentuk fisik, atau memindahkan (transportasi), menyimpan, memeriksa dan meminjamkan. Didalam suatu unit usaha dikenal adanya berbagai macam fungsi yang saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya, diantaranya terdapat tiga fungsi pokok yang selalu dijumpai yaitu :
1. Pemasaran (marketing) yang merupakan ujung tombak dari unit usaha, sebab bagian ini langsung berkaitan dengan konsumen. Keterkaitan ini dimulai dari identifikasi kebutuhan konsumen (jenis dan jumlahnya) maupun pelayanan dan pengantaran produk ketangan konsumen.
2. Keuangan (finance) yang bertanggung jawab atas perolehan dana guna pembiayaan aktivitas unit usaha serta pengelolaan dana secara ekonomis sehingga kelangsungan dan perkembangan unit usaha dapat dipertahankan.
3. Produksi (operasi) yang merupakan penghasil dari produk atau jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen.
Produksi sering diartikan sebagai aktivitas yang ditujukan untuk meningkatkan nilai masukan (input) menjadi keluaran (output). Dengan demikian maka kegiatan usaha jasa seperti dijumpai pada perusahaan angkutan, asuransi, bank, pos, telekomunikasi, dsb menjalankan juga kegiatan produksi. Secara skematis sistem produksi dapat digambarkan sbb:
Bagan 1 : Skema Sistem Produksi terdapat 4 perbedaan pokok antara usaha jasa dan usaha pabrikasi, yaitu :
a. Dalam unit usaha pabrikasi keluarannya merupakan barang real sehingga produktovitasnya akan lebih mudah diukur bila dibandingkan dengan unit usaha jasa yang keluarannya berupa pelayanan
b. Kualitas produk yang dihasilkan dari usaha pabrikasi lebih mudah ditentukan standarnya
c.  Kontak langsung dengan konsumen tidak selalu terjadi pada usaha pabrikasi sedangkan pada usaha jasa kontak langsung dengan konsumen merupakan suatu yang tidak dapat dielakkan
d.   Tidak akan dijumpai adanya persediaan akhir di dalam usaha jasa sedang dalam usaha pabrikasi adanya persediaan sesuatu yang sulit dihindarkan.
Secara garis besar transformasi produksi dapat diklasifikasikan :
-  Transformasi pabrikasi yaitu suatu transformasi yang bersifat diskrit dan menghasilkan produk nyata. Suatu transformasi dikatakan bersifat diskrit bila antara suatu operasi dan operasi yang lain dapat dibedakandengan jelas seperti dijumpai pada pabrik mobil, misalnya.
- Transformasi proses yaitu suatu transformasi yang bersifat continue dimana diantara operasi yang satu dengan operasi yang lain kurang dapat dibedakan secara nyata, seperti dijumpai pada pabrik pupuk dan semen, misalnya.
- Transformasi jasa yaitu suatu transformasi yang tidak mengubah secara fisik masukan menjadi keluaran; dalam hal ini secara fisik keluaran akan sama dengan masukan, namun transformasi jenis ini akan meningkatkan nilai masukannya, misalnya pada perusahaan angkutan. Sistem transformasi jasa sering disebut sebagai system operasi.
2.      Ruang Lingkup Manajemen Produksi (Operasi) Menurut Zulian Yamit (2003) Karakteristik dari sistem manajemen operasi adalah :
a) Mempunyai tujuan, yaitu menghasilkan barang dan jasa
b) Mempunyai kegiatan, yaitu prosestransformasi
c) Adanya mekanisme yang mengendalikan pengoperasian Ada tiga aspek yang saling berkaitan dalam ruang lingkup manajemen produksi, yaitu :
1.      Aspek struktural yaitu aspek yang memperlihatkan konfigurasi komponen yang membangun sistem manajemen operasi dan interaksinya satu sama lain.
2.      Aspek fungsional yaitu aspek yang berkaitan dengan manajemen dan organisasi komponen struktural maupun interaksinya mulai dari perencanaan, penerapan, pengendalian maupun perbaikan agar diperoleh kinerja optimum.
3.      Aspek lingkungan memberikan dimensi lain pada sistem manajemen operasi yang berupa pentingnya memperhatikan perkembangan dan kecenderungan yang terjadi di luar sistem.
Ruang lingkup manajemen operasi berkaitan dengan pengoperasian system operasi, pemilihan serta penyiapan sistem operasi yang meliputi keputusan tentang :
a) Perencanaan output
b) Desain proses transformasi
c) Perencanaan kapasitas
d) Perencanaan bangunan pabrik
e) Perencanaan tata letak fasilitas
f) Desain aliran kerja
g) Manajemen persediaan
h) Manajemen proyek
i) Skeduling
j) Pengendalian kualitas
k) Keandalan kualitas dan pemeliharaan
Sedangkan menurut Krajewsky dan Ritsman (1987) dalam Zulian Yamit, memberikan tiga aspek dalam manajemen produksi, yaitu :
a) Manajemen operasi dilihat dari segi fungsi
b) Manajemen operasi dilihat dari segi profesi
c) Manajemen operasi dilihat dari segi pengambilan keputusan
3.       Peranan Manajer Operasi
Manajemen Produksi (operasi) menawarkan kesempatan profesi sebagai contoh : direktur operasi, direktur pabrik, manajer operasi, manajer pengawasan produk, manajer lapang, asisten manajer, dan lain sebagainya. Beberapa tugas yang harus dilakukan oleh Manajer produksi adalah :
   a      Menentukan dan mengatur letak lahan pertanian dengan letak pabrik penanganan pasca panen.
  b      Menentukan dan mengatur letak gudang persediaan dan mesin yang efisien agar tidak menyita waktu dalam gerakan.
   c      Melakukan pemeliharaan peralatan di lahan pertanian dan pabrik agar menjamin keandalan dan kontinuitas produksi.
  d      Mengurangi bagian produk yang rusak atau memperbaiki proses produksi untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan biaya yang rendah.
   e      Menentukan input yang akan dibuat atau dibeli.
   f       Menentukan atau memperbaiki jadwal kegiatan usahatani atau kegiatan proses produksi pasca panen.
  g      Mengevaluasi biaya tenaga kerja jika ada penambahan tenaga kerja baik di lapang maupun di kantor.
  h      Mengurangi jika memungkinkan menghapuskan pemborosan.
    i      Memperpendek waktu persiapan untuk mengurangi waktu proses.
    j      Dan lain-lain Kegiatan yang demikian banyaknya, maka peran dari manajer operasional sangatlah strategis dalam menciptakan sistem produksi yang ampuh untuk membuat produk secara efisien.

4.      Proses Produksi (operasi)
Proses produksi adalah merupakan suatu cara, metode, maupun teknik bagaimana penambahan manfaat atau penciptaan faedah baru, dilaksanakan dalam perusahaan. Untuk dapat memisahkan jenis proses produksi dalam perusahaan dengan baik, maka kita perlu untuk mengetahui terlebih dahulu dari mana atau dari sudut pandangan apa kita akan mengadakan pemisahan jenis dari proses produksi tersebut. Masing-masing dari sudut pandangan ini, akan mempunyai arti dan kebunaan sendiri-
sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain, sehingga sebenarnya pemisahan proses produksi dalam perusahaan tersebut akan dapat disesuaikan dengan tujuan pemisahan proses produksi dalam perusahaan itu sendiri.
5.      Strategi  Produksi (operasi)
Menurut Zulian Yamit, 2003, Strategi merupakan konsep multidimensional yang merangkum semua kegiatan kritis organisasi, memberikan arah dan tujuan serta memfasilitasi berbagai perubahan yang diperlukan sebagai adaptasi terhadap perkembangan lingkungan. Strategi operasi merupakan salah satu cara yang dapat dikembangkan oleh perusahaan dengan memanfaatkan operasi pabrik dan jasa untuk
berkompetisi di pasar global. Produksi seharusnya tidak hanya dianggap sebagai wadah kekuatan bersaing dalam bisnis dan sebagai wadah untuk mencapai keunggulan yang dapat berkesinambungan. Strategi produksi harus menjadi kekuatan penggerak proses transformasi agar selalu fit dengan kondisi lingkungan baru.

Kebijakan Alih Fungsi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non Pertanian


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung dengan ketersediaan lahan. Konversi lahan pertanian dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik lahan mengkonversi lahan atau menjual lahan pertaniannya adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, produktivitas lahan, status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan non pertanian. Kondisi inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari.
Di Indonesia, angkanya memang sangat mencengangkan. Selama tahun 2000-2002, luas konversi lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan nonpertanian, seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar 110.160 hektar per tahun. Ini berarti, terdapat sekitar 3000 hektar sawah per hari yang beralih fungsi ke non pertanian. Di daerah Jawa Barat, laju konversi sawah irigasi rata-rata 5.000-7.000 hektare per tahun. Itu terjadi di Karawang, Bandung, Garut, dan Cianjur. Sementara sekitar 8.000 hektare sawah beririgasi di Bekasi berubah jadi areal industri dan perumahan. Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar sawah pertahun. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Sedangkan menurut DPRD Kalteng meminta ahli fungsi lahan pertanian menjadi kawasan perkebunan diinvertarisir kembali. Pasalnya, sekitar 117 ribu hektare lahan pertanian di kalteng, diduga telah dialih fungsikan untuk kawasan perkebunan yang diberikan kepada perusaan besar swasta.

1.2  Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah Perkembangan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan Pertanian?
  1. Apa sajakah Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian?
3.      Apa sajakah Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian?
4.      Apakah Dampak dari Konversi Lahan Pertanian?

1.3  Tujuan Penulisan
1.              Untuk Mengetahui Perkembangan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan Pertanian.
2.              Untuk Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian.
3.              Untuk Mengetahui Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian.
4.              Untuk Mengetahui Dampak dari Konversi Lahan Pertanian.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Perkembangan Penduduk dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
2.1.1  Perkembangan Penduduk Indonesia
Jumlah penduduk Indonesia tahun 1977 sekitar 135.000.000 jiwa dan tahun 2010 meningkat pesat hingga menjadi berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS Pusat, 2010). Dari sini dapat diartikan jika setiap tahunnya lahan pertanian Indonesia banyak yang berubah menjadi lahan non pertanian (pemukiman, Industri dll) akibat ledakan pertambahan penduduk yang tinggi.
2.1.2  Alih Fungsi Lahan Pertanian Indonesia
Menurut Biro Pusat Statistik (2001) yang menyatakan, bahwa luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 ± 8.500.000 ha selanjutnya pada tahun 2000 (7 tahun) telah menyusut serius hingga menjadi tinggal seluas 7.790.000 ha atau susutnya lahan 710.000 ha atau setiap tahunnya tanah sawah Indonesia menyusut 59,167 ha. Sedangkan menurut Dit Penatagunaan Tanah BPN (1998), bahwa luas tanah sawah di Indonesia sampai tahun 1998 baik sawah irigasi teknis dan non teknis adalah 7.796.430 ha uraiannya di P.Jawa beririgasi teknis 58%, serta 42% irigasi non teknis dan non irigasi. Di luar P.Jawa sebagian besar sawah non irigasi (>75%).

2.2  Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian seperti di atas kiranya dapat dikelompokkan menjadi 10 faktor penting yang sering terjadi di suatu wilayah antara lain:
1.      Faktor Ekonomi
Pendapatan hasil pertanian (terutama padi) masih jauh lebih rendah, karena kalah bersaing dengan yang lain (terutama non pertanian)seperti usaha industry dan perumahan dll. Hal inilah yang mendorong mereka tertarik pada usaha lain di luar pertanian seraya berpengharapan pendapatannya mudah meningkat (walaupun belum tentu karena mayoritas ketrampilannya masih minim) dengan mengganti lahan pertanian (sawah) menjadi lahan non pertanian.
2.      Faktor Demografi
Dengan semakin bertambahnya penduduk (keturunan), berarti generasi baru memerlukan tempat hidup (tanah) untuk usaha yang diambil dari lahan milik generasi tua atau tanah Negara. Hal ini jelas akan menyempitkan/mengurangi luas tanah secara cuma-cuma disamping adanya keinginan generasi berikutnya merubah lahan pertanian yang sudah ada.
3.      Faktor Pendidikan dan IPTEKS
Dengan minimya pendidikan karakter (mental baja terhadap setiap usaha yang diinginkan) dan minimnya IPTEKS yang dimiliki mayoritas rakyat Indonesia, maka sering terjadinya sebagian masyarakat cenderung mengambil jalan pintas dalam mengatasi masalah seperti usaha seadanya (mengeksploitasi lahan pertanian hingga tidak produktif/rusak, menjual tanah, merubah lahan pertanian ke non pertania)tanpa memikirkan dampak untung dan ruginya, sehingga manakala terjadi masalah maka kerugiannlah yang di dapat (menderita).
4.      Faktor Sosial dan Politik
Factor social yang merupakan pendorong alih fungsi lahan antara lain: perubahan perilaku, konversi dan pemecahan lahan, sedangkan sebagai penghambat alih fungsi lahan adalah hubungan pemilik lahan dengan lahan dan penggarap. Faktor Politik dapat dilihat dari dinamika perkembangan masyarakat sebagai efek adanya otonomi daerah dan dinamika perkembangan masyarakat dunia , tentunya ingin menuntut hak pengelolaan tanah yang lebih luas dan nyata (mandiri), sehingga di sini dapat timbul keinginan adanya upaya perubahan tanah pertanian (alih fungsi lahan pertanian).
5.      Perubahan Perilaku
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (alat komunikasi, transportasi, informasi radio, tayangan TV, berita teman dll) yang pernah diketahui/dilihat sebagian besar masyarakat (petani) dapat berpengaruh terhadap perubahan sikap yang berlebihan. Misalnya melihat orang yang bekerja kantoran kelihatan lebih enak, cakep dan penghasilan tinggi dibanding kerja sebagai petani nampak lusuh, kotor, sengsara, tidak keren, terasing dan penghasilannya rendah, terimanya penghasilan tidak rutin (nunggu beberapa waktu/musim panen)dll.
6.      Konversi dan pembagian lahan pertanian
Keinginan untuk mengadakan konversi dan pembagian lahan pertanian dapat menyebabkan terjadinya perubahan hak kepemilikan tanah atau hak pengelolaan tanah, sehingga yang terjadi dapat berubahnya lahan pertanian menjadi non pertanian atau pengurangan (penyempitan) lahan pertanian.
7.      Hubungan pemilik lahan dengan lahan dan penggarap
Hubungan pemilik lahan dengan lahan dan penggarap dalam konteksnya adalah pemilik lahan merasa lahannya sebagai warisan dari orang tuanya, wahana berbagi rasa dengan penggarapnya, sehingga lahan tersebut perlu dipertahankan walaupun dengan resiko nilainya semakin menurun jika tidak ada upaya pengelolaan yang bagus (tidak ramah lingkungan) akibatnya kondisi lahan terus merosot bahkan terjadi kerusakan.
8.      Otonomi Daerah dan Perkembangan Masyarakat Dunia
Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah dan masyarakatnya agar lebih luas dan mandiri dalam setiap pengelolaan potensi daerah (tidak terkecuali pemanfaatan lahan pertanian). Hal ini jelas menuntut adanya konsekwensi perubahan tentang status kepemilikan maupun pengelolaan tanah pertanian yang ujungnya tentunya ingin mengadakan upaya mengalihkan fungsi lahan pertanian (sawah), walaupun harus melalui konflik/ketegangan dengan berbagai fihak.
9.      Faktor Kelembagaan
Kelembagaan Petani seperti Himpunan Kerukunan Tani (HKTI), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dll terasa belum mempunyai kekuatan dan peran yang mantap terhadap anggotanya maupun dalam hubungannya dengan pihak pemerintah, maupun pihak lain yang terkait. Misalnya Hal ini terjadi oleh adanya masalah internal (primordial) seperti anggota (pengurus ) yang beragam (pengurusnya beragam latar belakang, maupun sebagian besar anggotanya miskin) serta tidak dapat berkomitmen dalam persatuan demi kemajuan organisasi dan anggotanya, dengan lebih banyak mementingkan pribadi/golongannya, sehingga yang terjadi melemahkan kekuatan organisasi atau lemah dalam posisi tawar terutama dengan pemerintah sebagai mitra kerjanya lebih-lebih seharusnya dapat menjadi orangtuanya. Pada hal pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh terhadap kehidupan sekaligus  kemajuan organisasi ini. Posisi tawar yang dimaksud salah satunya menyangkut pengendalian kestabilan harga bahan pangan (makanan pokok misal beras). Setiap ada gejolak kenaikan harga sembako, maka para konsumennya mengeluh karena menurutnya akan menyebabkan kenaikan harga barang/kebutuhan lainnya sehingga menyebabkan pengeluaran biayanya semakin tinggi.
10.  Faktor Instrumen Hukum dan Penegakannya
Sebenarnya telah banyak instrument hukum yang telah dibuat oleh pemerintah untuk mengendalikan atau menghambat laju terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Secara kongkrit UU yang dimaksud telah terbit diawali ketika bangsa Indonesia belum lama merdeka, yakni: Undang-Undang yang menyangkut keagrariaan No.5/1960 tentang Pertaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur kepemilikan lahan (land reform, lahan ingendom dll) maupun untuk mengelolanya baik oleh Negara dan warganya; UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem; UU No.41/2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Tentunya UU tsb harus benar-benar dapat mengatur pembangunan ekonomi (industry) yang tetap berbasis produksi pertanian.

2.3  Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Agar pengendalian terhadap upaya alih fungsi lahan pertanian dapat efektip dan efisien di suatu wilayah, maka ditawarkan strategi sbb:
1.      Kebijakan Pemerintah
      Kebijakan pemerintah yang dibuat harus pro rakyat, artinya kebijakan tersebut benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat, sehingga rakyat merasa nyaman hidup dengan keluarganya maupun selalu mau/memperhatikan ajakan pemerintah untuk menyukseskan pembangunan, tidak mudah tergoda adanya hasrat untuk mengkonversi tanah pertanian.
2.      Instrumen Hukum
Perlu diupayakan secara kongkrit dalam hal : (1) .Mencabut sekaligus mengganti Peraturan perUU yang tidak sesuai kondisi kebutuhan petani serta dengan mencantumkan sangsi yang tegas dan berat bagi pelanggarnya; (2). Penerapan pengendalian secara ketat khususnya tentang perijinan perubahan alih fungsi lahan pertanian dan pengelolaannya harus sesuai RTRW; (3). Menerapkan sangsi yang tegas dan berat bagi pelanggarnya misal pelanggaran RTRW dll; (4). Memberikan sangsi yang jauh lebih berat bagi pelanggarnya dari kalangan aparat pemerintah/penegak hukum antara lain yang menyangkut perijinan, perubahan status tanah, dll; (5). Membuat UU yang memberikan jaminan kekuatan yang memadai dan sederajat bagi organisasi petani dalam hubungannya (memperjuangkan haknya) dengan fihak pemerintah dan organisasi lain yang menyangkut setiap pengambilan keputusan, khususnya yang menyangkut kebutuhan petani; (6). Pembuatan UU yang menyangkut jaminan kestabilan kelahiran maksimal 2 orang bayi untuk seluruh rakyat Indonesia yang berkeluarga; (7). Merevisi PP No.25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah Daerah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom dengan mencantumkan hak-hak penguasaan tanah oleh Negara dan rakyat yang lebih pro rakyat; (8). Mengganti Keppres No.53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri; Keppres No.33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri dengan Keppres baru yang lebih pro rakyat; dan (9). 9.Mendukung keberadaan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan serta mengawasi pelaksanaan dan penegakannya.
3.      Instrumen Ekonomi
Perlu diupayakan secara kongkrit dalam hal pembuatan : (1). Kebijakan yang menyangkut jaminan kestabilan harga dan keberadaan stok barang kebutuhan petani; (2). Kebijakan yang menyangkut jaminan kestabilan system distribusi (penyaluran) barang kebutuhan petani; (3). Kebijakan yang menyangkut jaminan social tenaga kerja (asuransi kerugian hasil pertanian sepertti gagal panen atau anjloknya harga, asuransi kecelakaan kerja pertanian, asuransi pendidikan keluarga petani, asuransi kesehatan keluarga petani dll); (4). Kebijakan yang menyangkut: pemberian insentif setiap panen hasil pertanian bagi petani penggarap atau buruh tani; dan pemberian desinsentif bagi fiihak yang berminat dalam alih fungsi lahan pertanian; (5). Kebijakan yang menyangkut pemberian keringanan pajak khususnya sarana produksi pertanian dan penjualan hasil pertanian dalam negeri.
4.      Instrumen Sosial dan Politik
Perlu diupayakan secara kongkrit dalam hal pembuatan : (1). Kebijakan yang pro rakyat (meperhatikan benar-benar kepentingan rakyat termasuk hak kepemilikan dan pengelolaan tanah pertanian. (2). Kebijakan pemasyarakatan dan upayanya pemakaian kembali produk alam Indonesia , khususnya produk pertanian ke semua lapisan (seluruh) masyarakat; (3). Kebijakan pemasyarakaran bahaya dan pencegahannya dalam pembuatan dan pemakaian produk yang merugikan kehidupan petani beserta keluarganya bahkan dapat merusak lingkungan; (4).Pemeloporan secara pro aktif gerakan penghijauan setiap jengkal tanah oleh pemerintah dan tokoh/lembaga swadaya masyarakat; (5).Pemeloporan gerakan secara pro aktif dan pembentukan satgas sadar lingkungan dimulai dari RT hingga ke pusat dll; dan (6). Kebijakan Pendampingan dan upayanya penerapannya agar petani dengan secepatnya sadar dan pulih dari pengalaman kerugian yang diderita menyangkut kehilangan hasil pertanian (pengelolaan yang tidak berhasil).
5.      Istrumen Pendidikan dan IPTEKS
Perlu di upayakan secara kongkrit dalam hal penerapan : (1). Pemberian pendidikan bermoral bangsa Indonesia, ilmu, keterampilan dan seni yang me-madai dan efektif tentang pengelolaan usaha pertanian yang prospektif yang dapat dimanfaatkan dan dinikmati bagi konsumen; dan (2) .Pemberian ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang sesuai dan terjangkau oleh kemampuan petani seperti budidaya tanaman hias, sayuran, belut dll di lahan sempit.

2.4  Dampak dari Konversi Lahan Pertanian        
Dampak Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non- pertanian. Konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria. Adapun perubahan yang terjadi, yaitu:
1.      Perubahan pola penguasaan lahan.
Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya prose marginalisasi.
2.      Perubahan pola penggunaan tanah
Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi.
3.      Perubahan pola hubungan agraria
Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.

4.      Perubahan pola nafkah agraria
Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5.      Perubahan Sosial dan Komonitas
Konversi lahan menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang makin menurun).




BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Jumlah penduduk Indonesia tahun 1977 sekitar 135.000.000 jiwa dan tahun 2010 meningkat pesat hingga menjadi berjumlah 237.556.363 jiwa (BPS Pusat, 2010). Menurut Biro Pusat Statistik (2001) yang menyatakan, bahwa luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 ± 8.500.000 ha selanjutnya pada tahun 2000 (7 tahun) telah menyusut serius hingga menjadi tinggal seluas 7.790.000 ha atau susutnya lahan 710.000 ha atau setiap tahunnya tanah sawah Indonesia menyusut 59,167 ha.
Faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian seperti di atas kiranya dapat dikelompokkan menjadi 10 faktor penting yang sering terjadi di suatu wilayah antara lain:
1.      Faktor Ekonomi
2.      Faktor Demografi
3.      Faktor Pendidikan dan IPTEKS
4.      Faktor Sosial dan Politik
5.      Perubahan Prilaku
6.      Konversi dan Pembagian Lahan Pertanian
7.      Hubungan Pemilik Lahan dengan Lahan dan Penggarap
8.      Otonomi Daerah dan Perkembangan Masyarakat didunia
9.      Faktor Kelembagaan
10.  Faktor Instrumen Hukum dan Penegakannya
Agar pengendalian terhadap upaya alih fungsi lahan pertanian dapat efektip dan efisien di suatu wilayah, maka ditawarkan strategi sbb:
1.      Kebijakn Pemerintah
2.      Instrument Hukum
3.      Instrument Ekonomi
4.      Instrument Soaial dan Politik
5.      Instrument Pendidikan dan IPTEKS
Dampak Konversi Lahan Pertanian Konversi lahan pertanian pada umumnya berdampak sangat besar pada bidang sosial dan ekonomi. Hal tersebut dapat terlihat salah satunya dari berubahnya fungsi lahan. Konversi lahan juga berdampak pada menurunnya porsi dan pendapatan sektor pertanian petani pelaku konversi dan menaikkan pendapatan dari sektor non- pertanian. Konversi lahan berimplikasi atau berdampak pada perubahan struktur agraria.

3.2  Saran
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi penulis dan juga dapat digunakan sebagai referensi dalam pembuatan makalah yang selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

BPS Pusat. 2001.Statistik Indonesia.Jakarta.
BPS Pusat. 2010.Sensus Penduduk Indonesia 2010.Jakarta.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, 2011.Analisis Alih Fungsi Lahan dan Keterkaitannya Dengan Karakteristik Hidrologi DAS Krueng Aceh.Bogor.
Nyak Ilham, Yusman Syauki, Supeno Friyatno.20….? Perkembangan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Serta Dampak Ekonominya. Puslitbang Sosek Pertanian Bogor dan Dep.Ilmu-Ilmu Sosek Pertanian IPB Bogor.




 

Blogger news

Blogroll

About